Polda Banten OTT Oknum Pejabat BPN, IPW: Dorong Seluruh Polda Supaya Efektifkan Pemberantasan Mafia Tanah
JAKARTA, infoMALANGNEWS.com – Operasi tangkap tangan (OTT) Polda Banten terhadap empat oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan seorang Lurah di Lebak harus menjadi pintu masuk pemberantasan korupsi khususnya di wilayah Banten dan juga di Indonesia.
Untuk itu, masyarakat Banten diharapkan memberikan informasi kepada pihak Polda Banten jika mengetahui dugaan korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara di daerahnya.
Kapolda Banten Irjen Rudy Heriyanto juga telah berkomitmen untuk memerangi tindak pidana korupsi di wilayah Banten. Ini dibuktikannya saat anak buahnya melakukan OTT di BPN Kabupaten Lebak, pada Jumat (12 Nopember 2021) malam dengan menangkap empat staf BPN dan seorang lurah. Bahkan, pihak kepolisian telah mem-police line beberapa ruangan termasuk ruangan Kepala BPN Lebak.
Akhirnya, setelah dilakukan gelar perkara, Polda Banten menetapkan dua orang dijadikan tersangka yakni RY dan PR yang merupakan staf BPN Lebak.
Dari peristiwa tersebut, kata Ketua Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, bahwa Kapolda Banten juga telah berjanji tidak segan-segan memerintahkan jajarannya melakukan OTT terhadap kasus-kasus korupsi lainnya.
“Daei janji iru, seharusnya bukan hanya disuarakan Kapolda Banten saja, tapi dilakukan oleh para kapolda dan kapolres di seluruh Indonesia dalam perang melawan korupsi dan tindak pidana di sektor pertanahan,” kata Sugeng dalam siaran persnya pada Senin (15/11/2021).
Tindakan tegas Kapolda Banten Irjen Rudy Heriyanto yang telah melakukan OTT tersebut, maka Indonesia Police Watch (IPW) juga mendorong setiap Polda untuk lebih mengefektifkan Pemberantasan Mafia Tanah.
“Karena korupsi di sektor pertanahan sudah menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama melalui tangan-tangan kejam mafia tanah yang bermain dari tingkat desa/lurah, BPN, penegak hukum dan sampai peradilan,” ucap Sugeng.
Sementara pemerintah berkomitmen dalam memberantas mafia tanah dan Presiden Jokowi pun telah meminta Polri supaya tidak ragu untuk mengusutnya dan jangan sampai ada penegak hukum yang melindungi para mafia tanah tersebut.
“Menkopolhukam Mahfud MD pun yelah mengungkap bahwa mafia tanah merupakan kolaborasi oknum pejabat yang memiliki kewenangan dan pihak lain yang memiliki itikad jahat merugikan negara dan masyarakat. Akibatnya, diberbagai daerah sering terjadi duplikasi sertifikat diatas lahan yang sudah ada sertifikatnya sehingga menimbulkan konflik hukum horizontal,” ujarnya.
Duplikasi sertifikat ini, pernah dilaporkan warga masyarakat bernama Hj. Dewi Rasmani MM kepada IPW. Bahwa tanah yang dibeli oleh istri almarhum AKBP H. Moh. Made Rumiasa di Kampung Sudi Mampir, Desa Cimanggis, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor melalui Bank BNI dengan sertifikat 4477 yang dulunya sertifikat 149 atas nama Yusda itu ternyata ditumpangi oleh tanah milik Dr. Dwi Santy Kusumaningsih.
Anehnya, sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN Kabupaten Bogor dengan nomor 2956 itu hanya berlaku satu tahun yakni sejak 28 Juni 2012 sampai dengan 28 Oktober 2013. Setelah habis berlakunya, BPN kemudian memecahnya menjadi lima sertikat yakni nomor 3281, 3282, 3283, 3284 dan 3285.
Kepala BPN Kabupaten Bogor, telah menerbitkan surat No. 2441/Ket.200-4/VII/2019 tertanggal 25 Juli 2019 yang menyatakan diatas tanah sertifikat 4477/Cimanggis terdapat sertifikat Hak Milik 3282/Cimanggis dengan Surat Ukur Nomor 00026/2013 NIB 06.246 atas nama Dr. Dwi Santy Kusumaningsih dan sertifikat Hak Milik 2893/Cimanggis Surat Ukur 00004/2012 atas nama Sri Masfiah Mashuri.
“Kewenangan pejabat BPN dengan mengeluarkan sertifikat yang hanya setahun dan kemudian memecah ditumpangkan kepada hak milik orang lain jelas pelanggaran hukum dan merugikan masyarakat,” jelas Ketua IPW.
“Untuk memberantas korupsi dan tindak pidana di sektor pertanahan tidak cukup dengan OTT seperti yang dilakukan Kapolda Banten dan membentuk Satgas Anti Mafia Tanah di unit reskrim, tapi juga pimpinan Polri harus menurunkan personil di unit intelijen yang memantau pergerakan mafia tanah dari hulu sampai hilir. Dari tingkat Desa/Lurah sampai di tingkat peradilan,” tutupnya.
(Johnit Sumbito)